Bismillahirrahmanirrahiiim... Ini adalah cerpen pertama kali yang saya buat. Meskipun saya membuat ini dengan terpaksa karena desakan tugas bahasa Indonesia. Tapi Insyaallah saya membuatnya dengan penuh rasa ikhlas dan tanggungjawab.
Cerpen ini mengisahkan seorang pemuda yang tengah berjuang melawan penyakitnya, sakit jantung. Pemuda ini harus rela berpisah dengan teman-temannya demi kesembuhannya, meskipun nantinya pemuda ini harus meninggalkan teman-temannya untuk selamanya.
saya yakin cerpen ini sangat boring dan tidak menarik sama sekali. Tapi semoga anda berkenan untul membacanya dan memberikan coment untuk saya. Terimakasih sebelumnya...
AKU PERGI BUKAN UNTUK MENINGGALKANMU
Hari ini tak seperti
biasa. Suasana tampak berbeda. Hanya ada suara motor yang sesekali lewat di
depan rumah keSayanganku ini. Mau keluar, cuaca tak mendukung. Meskipun hanya
rintik-rintik, tapi tak mungkin kalau Aku keluar denga cuaca seperti ini.
Mengurung diri di kamar saja, rasanya tak mungin. Layaknya orang yang tak tahu
arah, Aku bingung harus melAkukan apa. Tak ada hIburan apa-apa. Hanya laptop keSayanganku
yang tetap setia menemaniku. Tak ada
siapa-siapa lagi, bahkan kicauan burungpun lenyap entah kemana.
Akhirnya,
dengan terpaksa Aku harus keluar dari penjara tanpa penjaga ini. Aku berjalan
mendekati pintu, kuraih gagang itu, dan tiba-tiba langkahku terhenti karena
sesuatu, “tok tok tok”. Ketukan pintu rupanya. Aku tak lekas membukanya, hanya
termangu di depan kamarku yang masih jauh dengan pintu itu. Setelah beberapa
waktu, Aku menuju ke benda yang baru saja diketuk itu. “Ceklek” ku buka jalan
satu-satunya masuk rumahku itu dengan perlahan. Begitu terkejutnya Aku.
Ternyata, petugas berbaju orange yang datang. Aku masih terpAku di
tempatku berdiri tadi. Suara tukang pos itu mengejutkanku, “Permisi.. apakah
benar ini rumah mbak Luthfia Firdausi?” Sontak Aku menjawab, “Iya betul, itu
nama saya. Ada perlu apa ya pak?”. “Ini mbak, ada surat dari teman mbak.” “Ohh
dari siapa ya pak?” jawabku bingung. “Waduhh.. saya kurang tahu ya mbak” Jawaban
dari lelaki paruh baya itu semakin membuat hatiku bertanya-tanya. Tanpa
basa-basi lagi, pak pos itu segera berpamitan dan menaiki motor dinasnya.
Tanpa
pikir panjang, Aku segera masuk dan menutup pintu sambil setengah berlari. Rasa
penasaranku semakin menjadi jadi. Ingin cepat-cepat Aku membukanya dan segera
tahu apa yang ada dibalik amplop coklat yang penuh misteri itu. Aku bersiap
membuka daaaaaaann... lagi-lagi ada yang mengagetkan Aku. Kali ini suara itu
datang dari tempat tidurku. Ada telfon. Tanpa melihat nama kontaknya, Aku
langsung memencet tombol bergambar gagang telepon berwarna hijau yang ada di
Handphoneku.
“Assalamu’alaikum..” Sepertinya
Aku kenal dengan suara ini. “Iya, Wa’alaikumussalam” “Luthfi kamu di rumah kan?
Ini Ibu sama Ayah hampir sampai rumah. Mau dibawakan apa?” Tak salah, suara Ibuku
tercinta. Dengan penuh semangat Aku menjawab, “Terang bulaaaan rasa coklat
kacang.. Nggak pakek keju, susunya sedikit, juga nggak terlalu manis. Oke bu?” “Oke-oke
Sayang.” Jawab Ibuku dengan nada jengkel. Hmmmmm... Aku memang nggak pernah
nolak kalau ditanya masalah makanan, hehhhe.
Aku segera melempar HP-ku
dan kembali ke sepucuk surat tadi. Sebelum membukanya, Aku berusaha menebak
siapa pengirim surat itu. SaudarAku, tak mungkin rasanya. Mungkin teman, tapi
siapa ya? Ahhhhh.. Langsung Aku buka saja lahh, biar nggak tambah penasaran.
Perlahan, kuraih lembaran
di meja itu. Sudah tak sabar lagi rasanya. “Dug dug dug” Aku tak tahu, kenapa
jantungku berdetak tak seperti biasanya. “Krek” Sekarang, terbukalah amplop
itu. Aku sudah tak sabar lagi ingin segera membacanya. Kutarik secarik kertas
yang penuh misteri itu, dan... “tok tok tok” Aaaaaaaaaa.. Aku hampir menjerit
karena lagi-lagi Aku gagal membuka teka-teki ini. Hhhhhhhhhhh, Aku cepat-cepat berlari dan ingin
segera tahu siapa yang menggangguku.
Tapi tiba-tiba Aku ingat
sesuatu. Mobil silver yang ada di depan rumah menambah keyakinanku, pasti Ayah
dan Ibu. Segera kubuka pintu dan tanpa ragu, Aku meraih bungkusan yang dibawa Ibu
dan langsung berlari. “Yeeeeeaaaahhhh terang bulan kesukaankuuuuu...”
“Hati-hati Luthfi, nanti jatuh nggak jadi makan lohhh” Ayahku mengingatkan.
“Iya Ayahhhhhhhh.”
Tak sabar lagi, Aku
membuka kotak putih beraroma luar biasa yang berada tepat di depanku. Persis
dengan pesananku tadi. Rasa coklat kacang, dengan susu putih yang tidak terlalu
banyak, tanpa keju. Tanpa memikirkan apa-apa lagi, kulahap habis semua yang ada di dalam kotak
itu. Ibu kan nggak suka terang bulan, Ayah juga anti susu. Jadi kuhabiskan
saja, pikirku, heheheheeeee. Saking asyiknya dengan makanan kesukaanku ini, Aku
sampai lupa segalanya.
“Sudah sholat?” Ayah
bertanya padAku. “Astaghfirullah.. Belum yah, Aku terlalu asyik bermain tadi.” Dengan
nada sedikit marah, Ayah berkata padAku. “Kamu ini, game aja terus. Nggak
laptop nggak HP tetap saja mengganggu. Kalau seperti ini terus, Ayah sita HP
nya biar nggak pacaran aja.” “Aduh yahhhh, Aku kan nggak pacaran. SMS an sama
cowok aja nggak pernah. Hhhhhhhhhhhhhh.” “Sudah sudah, cepat sholat sana. Lihat
itu jamnya, hampir jam 2 itu lohhhh.. Kamu ini.”
Tanpa kusadari, jam
dinding rumahku sudah menunjukkan pukul 13.15. Itu berarti, Aku di depan laptop
selama kurang lebih 4 jam. Waaaaaahhhhh... ini pertama kali Aku kuat di depan
laptop lebih dari 2 jam. Biasanya 1,5 jam saja sudah mual. Entahlah, mungkin
karena permainan baru yang Aku download kemarin. Langsung saja Aku
berlari menuju kamar mandi dan berwudhu.
Sesudah sholat, Aku
berusaha memejamkan matAku sejeNak setelah sekitar 4 jam duduk di depan laptop.
Berkali-kali Aku mencoba memejamkan mata, tapi tetap tidak bisa. Seperti ada
sesuatu yang mengganjal di pikiranku. Aku menengok ke kanan menuju meja
belajarku. Sepertinya Aku ingat sesuatu. Surat, ya... surat yang tadi siang
datang padAku. Aku segera berlari dan hendak membacanya. Sebelum membukanya, Aku
berdo’a semoga tak ada sesuatu yang tidak diinginkan setelah Aku membaca ini.
Aku mulai membuka amplop
coklat itu dan segera kuambil lembaran putih yang ada di dalamnya. Hanya satu
lembar, tapi kelihatan bermakna banget. Apa ya isinya, pikirku. Rasa
penasaranku berangsur angsur hilang setelah membaca tulisan “Untuk sohibku terSayang,
Luthfia Firdausi.” Aku mulai bisa menebaknya. “Kan hanya Fira yang pernah
memanggilku seperti ini” Kata hati kecilku yang mulai beraksi. Dia berkata
lagi, “Tapi nggak mungkin dia ngirim surat ke Aku. Dia kan sudah lupa sama Aku”
hatiku mulai jengkel sepertinya. Ahhhh,, dari pada penasaran, Aku baca dari
awal sampai akhir aja deh.
Untuk sohibku terSayang,
Luthfia Firdausi
Luthfia Firdausi
Assalamu’alaikum...
Sob, kamu masih ingat kan panggilan itu? Yang dulu di satu sekolah hanya kita yang memakainya, tak ada yang lain lagi. Aku kangen banget sama kamu. Padahal masih satu tahun loh kita berpisah. Tapi seperti berabad abad rasanya. Kamu ngerasain ini nggak?
Luthfi, Aku mau cerita sesuatu.
Sejak kamu meninggalkan MTsN 1, suasana sepi banget. Nggak ada yang ngeramain kelas. Temen-temen yang lain diam aja tuh, nggak ada suaranya. Sekarang, nggak ada yang bisa Aku ajak curhat. Nggak ada yang bisa nenangin diri Aku, Sob. Kalau lagi istirahat, Aku hanya bisa sholat dhuha di masjid sendirian, nggak ada yang nemenin jalan, nggak ada yang nungguin Aku make sepatu, sepi banget deh pokoknya.
Sob, kenapa sih dulu kamu harus pergi? Ninggalin Aku sendiri? Nggak pamitan lagi. Kejam banget kamu, tau nggak sihh.. Aku nangis kurang lebih seminggu, sampai dipanggil sama guru BP gara-gara sering ngelamun. Trus bu Ira bilang gini, “Luthfi itu bukannya kejam sama kamu, dia malah Sayang sama kamu. Nanti kalo dia pamitan sama kamu, dia tAkut kamu malah lebih sedih trus MTsN 1 pasti banjir” Benar begitu ya Sob? Kamu ngelAkuin ini semua karena Kamu Sayang sama Aku? Tapi, kenapa harus gini sihh? Kalo gini kan Aku yang tersiksa.
Trus kapan kamu kembali ke sini lagi? Aku kangen, pengen ke rumahmu, pengen main-main di taman rumah kamu, pengen tidur di penjara biru kamu, masih banyak deh yang pengen Aku lakuin sama kamu.
Sampai sini dulu ya kak suratku. Aku tuh sebenarnya pngen nulis yang panjang lebar buat kamu, Sob. Tapi Aku malu sama kamu karena keterampilanku menulis tak sebaik kamu. Hehheeee
Dari Sohibmu,
Felyta Safira
Sob, kamu masih ingat kan panggilan itu? Yang dulu di satu sekolah hanya kita yang memakainya, tak ada yang lain lagi. Aku kangen banget sama kamu. Padahal masih satu tahun loh kita berpisah. Tapi seperti berabad abad rasanya. Kamu ngerasain ini nggak?
Luthfi, Aku mau cerita sesuatu.
Sejak kamu meninggalkan MTsN 1, suasana sepi banget. Nggak ada yang ngeramain kelas. Temen-temen yang lain diam aja tuh, nggak ada suaranya. Sekarang, nggak ada yang bisa Aku ajak curhat. Nggak ada yang bisa nenangin diri Aku, Sob. Kalau lagi istirahat, Aku hanya bisa sholat dhuha di masjid sendirian, nggak ada yang nemenin jalan, nggak ada yang nungguin Aku make sepatu, sepi banget deh pokoknya.
Sob, kenapa sih dulu kamu harus pergi? Ninggalin Aku sendiri? Nggak pamitan lagi. Kejam banget kamu, tau nggak sihh.. Aku nangis kurang lebih seminggu, sampai dipanggil sama guru BP gara-gara sering ngelamun. Trus bu Ira bilang gini, “Luthfi itu bukannya kejam sama kamu, dia malah Sayang sama kamu. Nanti kalo dia pamitan sama kamu, dia tAkut kamu malah lebih sedih trus MTsN 1 pasti banjir” Benar begitu ya Sob? Kamu ngelAkuin ini semua karena Kamu Sayang sama Aku? Tapi, kenapa harus gini sihh? Kalo gini kan Aku yang tersiksa.
Trus kapan kamu kembali ke sini lagi? Aku kangen, pengen ke rumahmu, pengen main-main di taman rumah kamu, pengen tidur di penjara biru kamu, masih banyak deh yang pengen Aku lakuin sama kamu.
Sampai sini dulu ya kak suratku. Aku tuh sebenarnya pngen nulis yang panjang lebar buat kamu, Sob. Tapi Aku malu sama kamu karena keterampilanku menulis tak sebaik kamu. Hehheeee
Dari Sohibmu,
Felyta Safira
Aku tak bisa membendung
air matAku lagi. Hatiku berkata sesuatu. “Sohibku, sebenarnya Aku nggak ingin ninggalin kamu.
Tapi nggak mungkin kan kalau Aku menghindari takdir? Hanya takdir Sob yang bisa
menjadikan kita seperti ini. Takdirlah yang membawa kita ke MTsN 1 sampai kita
ketemu disana. Takdir juga yang membawAku menjauh darimu walaupun akhirnya kita
bertemu lagi.”
Begitu
derasnya air mata yang menyusuri pipiku. Bibirku kelu, hanya hati yang bisa
mengadu. Kakiku serasa kaku, mengingat kenangan kita dulu. Begitu juga
tanganku, hanya bisa bergerak ragu. Entahlah, apa yang terjadi padAku.
Tiba-tiba.....
“Bruk”
Aku terkapar di lantai kamarku. “Ibuuuuuu.. Ayahhh... Jantungku kambuh
lagiiiii,, ahhhhhhh” Ingin Aku berteriak, tapi bibirku hanya bisa mengucap
“Yahhhhhh... Buuuuuuuuu.” tidak lebih dari itu. Sontak saja Ayahku yang berada
tidak jauh dari kamarku berlari sekuat tenaga. Beliau langsung meraih tubuhku
yang lemah tak berdaya. Ibu datang membawa obat dengan tergopoh-gopoh. “Nakkk,,
ada apa? Kambuh? Ini diminum obatnya...” Ibuku berkata dengan nada khawatir. Ayahku menyambung, “Iya Luthfi. Ada apa? Kamu juga
kelihatan baru menangis tuhhh.”
“Begini
yahhh.. tadi siang ada tukang pos datang kesini, mengantar surat untuk Luhfi.
Nahhh.. Luthfi tak sabar membacanya, tapi setelah membacanya Luthfi mendadak
lemas, Luthfi tidak tahu ada apa.” Dengan suara yang masih lemah Aku berusaha
menjelaskan semuanya kepada Ayah dan Ibu. Tentu saja Ibuku penasaran lalu
berkata, “Surat dari siapa Nak? Pacar ya” Aku langsung memberontak, “Luthfi
tidak punya pacar Bu, Yahhh..” “Lalu dari mana?” Ibuku penasaran. Setelah
menarik nafas panjang, Aku mencoba menjelaskan ke Ibu “Dari Fira, Bu.” Belum
sempat Aku meneruskan, air matAku kembali mengalir di pipiku. Ibu mengelus
rambutku. “Duluuuu.. sebelum kita pindah ke Jakarta dan akhirnya tinggal
disini, Aku sama Fira jarang ketemu dan Aku belum sempat berpamitan dengannya,”
Aku memotong pembicaraanku dan menyambungnya lagi. “Luthfi nggak tega
menjelaskan ini ke Fira bu, biarkan dia tidak tahu apa yang terjadi dengan
Luthfi sekarang.” Kini, Ayahku angkat bicara. “Sudahlah Nak, tak perlu kamu
tangisi, Fira pasti ngerti kok..” Senyuman Ayahku mampu membuat hatiku tergugah
dan kemudian berkata, “Kapan kita kembali ke Bandung, Yah? Aku rindu
teman-teman, Yahhh.” Ibuku tersenyum seraya berkata, “Yang penting kamu sembuh
dulu, Nak. Tenang saja. Masalah kapan Kita pulang ke Bandung, itu urusan
gampang. Pokoknya Kamu sudah sehat, kita ke Bandung. Oke Sayang??” Aku hanya
tersenyum pada Ibu dan Ayah, berharap kesembuhan segera datang padAku.
Keesokan harinya,,,,,,
“Nak, saatnya ke dokter.” Aku
yang sudah siap pergi ke sekolah, protes pada Ibu. “Tapi Bu, Luthfi kan harus
sekolah. Lihat bu, Luthfi sudah pakai seragam, tinggal sarapan dan pergi ke
sekolah.” Ibu tak mau kalah denganku, “Nak, kamu harus ke dokter dulu biar
kondisimu membaik. Jangan khawatir, setelah dari dokter kamu akan pergi ke
sekolah kok. Kamu pengen cepat-cepat pulang ke Bandung kan? Maka dari itu kamu
harus sembuh. Harus minum obat, harus mau kalau diajak ke dokter.” “Iya, Bu.”
Jawabku dengan nada terpaksa dan sedikit kesal.
Di perjalanan, Aku lebih
banyak diam. Sementara Ibu sedang sibuk dengan kemudinya. Hari ini Ayah harus
berangkat pagi karena ada meeting, jadi nggak bisa mengantarku pergi ke dokter.
Tiba-tiba Ibu mengagetkanku, “Luthfi,” Langsung Aku menjawab, “Ehhhh, iya Bu.
Ada apa?” “Kamu tidur ya?” “Nggak bu, ini lagi SMS an sama temen-temen.” “Kita
hampir sampai Nak, cepat bersiap turun.” Tanpa menjawab, Aku menuruti perkataan
Ibu. Ku ambil tas westpak ku dan kumasukkan bukuku ke dalamnya. Tak lupa
Aku mengantongi HPku.
Kini Aku dan Ibuku sampai
di tempat parkir. Aku bergegas turun kemudian disusul Ibuku. Kamipun langsung
menuju ke loket yang bertuliskan “Rumah Sakit Al-Islam” dan segera check in.
Kebetulan rumah sakit ini sedang sepi pengunjung, jadi Aku bisa langsung ke
dokter untuk mempersingkat waktu. “Selamat datang Luthfi, bagaimana keadaannya?”
Sapa dokter Rudi yang sudah hafal
denganku itu dengan ramah. Belum sempat Aku menjawab, Ibuku mengambil alih
bagianku. “Ini Dok, kemarin kambuh lagi,” “Aduhhh. Tapi obatnya masih tetap
diminum kan?” Aku mendahului Ibu yang terlihat mau angkat bicara, “Kalau itu
sihhh nggak pernah lupa dok, heheheee.” Dengan nada sedikit memuji, dokter Rudi
berkata “Wahhh.. begitu dong Luthfi.. Biar cepat sembuhhh. Ya sudah sekarang Dokter
periksa dulu ya.” Aku berbaring di tempat tidur dan Dokter berkacamata itu
segera memeriksaku. “Kemarin baru kambuh? Pantas saja jantungnya belum stabil.”
Kata dokter memastikan. “Iya dok, dapat surat dari temennya trus tiba-tiba
jatuh.” Ibu ku mengiyakan. Dokter lalu menjawab, “Besok-besok lagi kalau ada
sesuatu yamg kiranya mengganggu jantungnya Luthfi, Bu Rahma harus tahu dulu sebelum
Luthfi mengetahuinya.” Ibuku lantas menjawab, “Biasanya juga seperti itu Dok,
lha kemarin itu Saya sama Ayahnya lagi keluar, jadi nggak tahu kalau ada
surat.” Setelah beberapa menit bercakap-cakap dengan dokter Rudi,
pemeriksaanpun selesai dan Aku bisa keluar. “Nahhh.. pemeriksaan sudah selesai
tinggal nunggu hasilnya kira-kiraa 10 menit lagi.” Aku melihat jam dinding yang
ada di kamar pemeriksaan itu. Pukul 09.00. Itu berarti, Aku sudah meninggalkan
pelajaran selama 2 jam. Pasti ketinggalan banyak, pikirku. Dan sekarang, Aku
harus menunggu 10 menit lagi.
Ya sudah, mari kita
tinggalkan hal yang paling menyebalkan di dunia yaitu menunggu. 10 menit
berlalu, saatnya mengambil hasil diagnosis. Dari awal penyakit ini memasuki
tubuhku, yaitu kelas 6 MTs sampai sekarang Aku kelas 8, Aku nggak pernah mau
diajak mendengar keterangan dokter tentang hasil pemeriksaan. Ini terjadi
karena Aku trauma saat pertama kali penyakit ini hinggap di tubuhku. Saat itu Aku
langsung jatuh tak berdaya ketika mendengar dokter menyatakan Aku terkena
penyakit jantung. Aku tak menyangka, Ibuku menangis tiba-tiba dan Ayahku lemah
tak berdaya. Sudah-sudah, Aku tak mau mengingat saat yang paling menyedihkan
dalam hidupku itu.
Setelah Ibu keluar dari
ruang dokter , Aku memaksa Ibu untuk langsung ke tempat parkir dan pergi
sekolah. “Ayo Bu, kita ke mobil trus langsung ke sekolahku” “Nak,,,,,,” Ibu
memotong pembicaraannya. “Iya bu?” “Kamu mau apa? Setelah ini kita jalan-jalan
lalu pulang, kamu nggak usah sekolah. Kata dokter Rudi kamu harus banyak
istirahat, nggak boleh terlalu capek.” Perkataan Ibu membuatku terkejut, tak
seperti biasanya Ibu bicara dengan nada serius seperti kali ini. Jantungku
semakin berdebar debar, Aku pun memberanikan diri bertanya pada Ibu.
“Hmmmmm.... Bu, tadi hasil pemeriksaannya gimana? Bagaimana keadaan Luthfi?
Kapan Luthfi bisa bertemu teman-teman di Bandung?” Kali ini Ibu memilih diam, Aku
tak tahu ada apa. Tak lama kemudian, Ibu berkata sesuatu. “Kita bahas di rumah
nanti saja ya Nak, sekarang kita belanja ke Mall dulu” Bukannya Ibu tak
suka menunda-nunda sesuatu seperti ini, pikirku. Tapi ya sudahlah, Aku turuti
saja perkataan Ibu.
Di Mall, Aku dan Ibu
berpisah. Kami sibuk memilih-milih keperluan masing-masing. Ibu pergi ke tempat
bahan-bahan dapur, sedangkan Aku kini berada di tempat parfum dan baru saja
pindah dari bagian snack. Sepertinya masih beberapa menit Aku masuk ke mall,
tapi keranjang belanjAku sudah penuh dengan barang-barang yang sebenarnya
kurang penting ini. Mulai dari stik, coklat, camilan, dan masih banyak lagi. Aku
tak peduli berapa hari bisa menghabiskan makanan sebanyak ini. Ku lihat
sekelilingku, dan jauh disana Ibu memberi kode padAku agar cepat pergi ke
kasir. Aku langsung melesat ke kasir dan mesuk ke antrian yang cukup panjang
ini.
Saat ini Aku tidak bisa
melewatkan hal yang sangat membosankan ini. ANTRI, Aku harus menunggu
sekian lama untuk membayar belanjaanku ini. Ibu tepat dibelakangku. Untuk
menghilangkan rasa bosan, Aku bicara pada Ibu, “Setelah ini kita langsung
pulang kan, Bu?” “Iya Sayang.. kamu kan harus banyak istirahat.” Kami
berbincang cukup lama sampai akhirnya Ibu membayar semuanya dan kamipun pulang.
Di perjalanan kali ini, Aku
memilih tidur karena kebetulan untuk pulang ke rumah harus berada di mobil
selama kurang lebih 30 menit. Belum nati kalau terjebak macet, wahhh bisa
sampai 1 jam Aku berada di dalam mobil. Sebelum Aku tidur, Aku menyempatkan
bicara pada Ibu, “Bu, Luthfi tidur dulu ya, Luthfi capek” “Ohh iya Nak, jalanan
agak ramai jadi agak lebih lama kita berada di mobil.”
Kulirik arloji yang Aku kenakan
di tangan kananku. Pukul 11.55 berarti sekarang anak-anak sedang istirahat,
makan kemudian sholat. Aku hendak menghubungi mereka, tapi rasa kantukku tak
bisa kutahan lagi. Tak lama, Akupun tertidur. Aku sudah tak tahu apa yang
terjadi di sekelilingku. Jalanan macet, udara panas, dan derum kendaraan tak
kuhiraukan, Aku tetap nyenyak dalam tidurku.
Sampai Aku terbangun dan sadar,
bahwa Aku masih meletakkan surat dari Fira di tas keSayanganku. Aku tak mau
tahu, langsung kubuka surat itu dan hendak membacanya lagi. Tapi, Ibu
mencegahku melakukan ini. “Hayo, mau ke Dokter lagi?” Demi kebaikanku sendiri, Aku
menuruti nasehat Ibu tanpa berkata apapun.
Tak terasa, hampir satu
jam berlalu. Aku dan Ibuku hampir sampai di rumah kami. Tak lama setelah Aku
memunguti barang-barangku, mobil Ibu sudah memasuki garasi rumah. Tanpa
dikomando, Aku langsung turun dan menuju ke kamar guna istirahat. Sebenarnya,
dari tadi Aku sudah menggerutu, “Kenapa sih Aku nggak ke sekolah aja? Biar
nggak kesepian di rumah? Kan kalo di sekolah Aku bisa seneng-seneng, main sama
temen-temen”. Ya, mungkin kalau bukan karena kesembuhan yang Aku idam-idamkan
sejak dulu, Aku bisa melAkukan itu semua. Tapi, Ibu memang selalu menginkan
yang terbaik untuk anak satu-satunya, yaitu Aku. Jadi, Ibu selalu memaksaku
untuk selalu menaati perintahnya walaupun kadang-kadang itu sangat
menjengkelkan.
“Luthfi, kesini.” Suara Ibu memecah keheningan pada siang hari
ini. Aku berlari sambil menjawab, “Iya buuu.. Luthfi kesana” Ibu sudah
menungguku di ruang keluarga, tepatnya di sofa panjang berwarna merah yang
berada tepat di depan TV. Aku melihat Ibu mengeluarkan selembar kertas dari
amplop lebar berwarna coklat. “Pasti hasil diagnosis” Tanpa diberi tahu Ibu Aku
sudah bisa menebak apa isi kertas itu. “Nunggu Ayah pulang dari kantor ya,”
“Tapi Bu, Ayah kan pulangnya sore, bahkan bisa malam” Dengan sedikit tersenyum,
Ibu menjawab “Untuk hari ini tidak Sayang, tadi...” Belum sempat Ibu
melanjutkan, Ayah sudah sampai dan melanjutkan penjelasan Ibu, “Tadi Ayah sudah
berjanji pulang agak cepat karena tadi sudah nggak bisa menemani Luthfi ke
dokter” Aku hanya tersenyum dan bersyukur punya Ayah seperhatian ini.
“Gimana Bu, hasilnya?” Ibu
tak menjawab, hanya memberikan hasil diagnosis pada Ayah. Aku khawatir dengan
ekspresi Ayah yang menunjukkan Beliau sangat kaget dan tak percaya. “Bagaimana
yah?” Ayah berbisik pada Ibu. Aku berusaha mendengarnya. Kira-kira Ayah bilang
begini, “Sebaiknya Luthfi tidak mengetahui ini” Aku yang mendengar kata-kata
yang tak eNak didengar itu langsung berkata, “Luthfi harus tahu, nggak boleh
tidak” “Tapi Nak...” Kali ini, perkataan Ibu sengaja tak diteruskan. Ayah
berbisik pada Ibu lagi, tapi kali ini Aku tak mendengarnya. “Iya, baiklah kalau
begitu” Aku tahu Ibu menjawab dengan terpaksa.
Akhirnya, setelah
mempersiapkan diri, Aku mendengar penjelasan dari Ayah. “Kondisi kamu semakin
memburuk Nak, kelihatannya jantung kamu makin parah” Kagetnya diriku,
sebelumnya saja kondisi jantungku setara dengan kanker stadium 4, lantas
bagaimana sekarang? Apakah itu berarti jantungku sama dengan kanker stadium Akut?
Itu berarti... Ohhh tidak, rasanya umurku tak lama lagi. Berbagai pertanyaan
muncul di kepalAku. Tapi Aku tak papa, jantungku berdetak seperti biasa,
mungkin karena Aku telah mempersiapkan diri sebelumya. Tapi kulihat mata Ibuku
tampak berkaca-kaca. Ayah melanjutkan, “Mungkin kamu harus Istirahat total,
nggak usah masuk sekolah dulu sebelum dokter menyatakan kondisimu membaik”
Kulihat Ibu, sepertinya air matanya tak dapat dibendung lagi dan tak lama
kemudian mengalir di pipinya dan membasahi jilbabnya. Sambil terisak Ibu
berkata padAku, “tapi tenanglah Nak, Ayah dan Ibu akan terus mencari
kesembuhanmu, dengan cara apapun itu,”
Aku mulai terharu, tak
terasa air matAku sudah mulai membasahi pipiku. Suasana mendadak berubah
menjadi hening. Ayah, Ibu tak mampu berkata-kata, lemah tak berdaya. Akupun
demikian, bibirku serasa kelu, tak mampu mengucap satu kata pun. Aku mencoba
mengubah suasana ini, “Yah, tapi kenapa sih kita harus tinggal di Jakarta?”
“Untuk pengobatan kamu, Nak” “Memangnya di Bandung nggak ada dokter spesialis
jantung ya, Yah? Ada deh kayaknya, banyak malah.” “Memang benar Nak, tapi untuk
saat ini memang kita harus tinggal di Jakarta, karena pekerjaan Ayah juga”
“Lalu kapn kita ke Bandung lagi? Nggak mungkin kan kita terus-terusan disini?
Di tempat yang penuh polusi ini?” “Yang penting kamu sembuh dulu Nak, soal itu
sihhh, gampang” Persis dengan yang dulu pernah dikatakan Ibu padAku. “Ahhh,, Ayah
dan Ibu sama saja.”
Sepertinya Aku harus
menahan diri untuk belajar bersama teman-teman, hanya karena penyakit yang
hinggap ditubuhku ini. Sampai kapan Aku begini, tergantung pada takdir. Berapa
lama penyakit ini bersarang di tubuhku, atau mungkin berapa lama Aku hidup di
dunia ini. Pikiranku semakin kacau. Tak terarah, rasanya seperti kematian sudah
datang menyambut diriku. Tubuhku seperti takluk oleh jantungku yang semakin tak
menentu. KepalAku terasa berat karena pengaruh obat yang makin hari makin
bertambah ukuran serta jumlahnya. Kakiku, tanganku rasanya tak dapat digerakkan
lagi karena harus menahan beban seberat ini. Kini Aku menyadari bahwa diriku
sudah tak ada apa-apanya lagi. Tak ada yang dibanggakan, bakat menulisku kini
hilang. Keterampilanku memainkan komputer, kini tinggal bayangan. Aku yang
dulunya murah senyum, ceria. Kini semua itu hanyalh kenangan yang tak
terlupakan.
Sudah lebih dari satu
bulan sejak dokter menyatakan kondisiku yang semakin parah, tapi tetap tak ada
perubahan apa-apa. Sama seperti dahulu kala. Teman-teman baruku di Jakarta,
kini hilang entah kemana, tak terlihat batang hidungnya. MatAku hanya bisa
berkaca-kaca. Pipiku hanya bisa basah dengan deraian air mata. Dan hatiku hanya
bisa merasakan hampa. Ingin cepat-cepat lenyap dari dunia ini rasanya, daripada
harus hidup dengan ketidakpastian seperti ini.
Di tengah keputusasaanku
ini, Aku teringat suatu hal. Surat, yaaa surat dari Fira. Aku hendak
mengambilnya, tapi kuurungkan niatku hanya karena kondisiku. Untuk
menghilangkan pikiranku tentang surat itu, Aku bergegas keluar dari kamarku
yang penuh dengan kenangan itu.
Sampai di depan pintu, Ibu
menyapAku. “Hai Luthfi, gimana keadaannya?” Ini pertama kalinya Ibu menyapAku
saat Aku keluar dari kamarku. Biasanya, hanya cuek dan tak mau tahu. Senyumnya
kali ini benar-benar berbeda. Aku tahu Ibu melAkukan ini karena Beliau sadar
bahwa Aku tidak hidup lama lagi. Aku kembali menyapa Ibu, “Ehhhmmm,,
alhamdulillah baikan Bu.” Aku meuju ke meja makan tempat Ibu berada. Aku
melihat sepotong roti. Nampaknya Ibu tahu maksudku, “Makan saja Nak, roti nggak
berpengaruh kok” Tanpa pikir panjang, kusabet habis roti yang kebetulan hanya
tinggal sepotong.
Hari ini waktunya Aku ke
dokter. Setiap hari Aku berdo’a agar keajaiban datang padAku dan mengantarkan
kesembuhan pada tubuhku. Kata dokter, mustahil hidup dengan keadaan yang
seperti ini. Biasanya usia orang yang keadaannya seperti Aku, paling lama
adalah 1 tahun sejak di vonis terkena penyakit jantung. Tapi Ibu selalu bilang
kalau itu semua tidak benar.
“Luthfi, sudah siap? Ayo
kita berangkat sekarang. ” Ibu mengajakku cepat-cepat ke dokter. “Ayah ikut,
Bu?” Aku bertanya pada Ibu, tapi malah Ayah yang menjawab, “Iya dong, Ayah
harus menemani putri Ayah satu-satunya yang akan menerima kabar gembira. Bukan begitu,
Nak?” “Iya sihh.. tapi Ayah yakin akan mendapatkan kabar gembira?” “Yakin
dong.. harus yakin.” Perkataan Ayah memang meyakinkan. Aku hanya membalas
senyuman kepada Ayahku tercinta.
Tak lama, kami berangkat
ke rumah sakit untuk menemui dokter Rudi. Sesampainya di ruang dokter, seperti
biasa Beliau berbasa-basi kepada Ayah dan Ibu hingga akhirnya memerintahkanku
berbaring dan memeriksAku. Kali ini Aku merasakan hal yang berbeda dari dokter
Rudi. Biasanya kan, Beliau memeriksAku sambil bercanda. Tapi kali ini, Aku
hanya melihat wajah kusut di mukanya. Aku bingung melihatnya.
Tak
seperti biasa juga, hasil diagnosisnya langsung disampaikan ke Ayah. Saat Ayah
menerima penjelasan dari dokter, Aku dan Ibu memilih keluar, mencari udara
segar. Saat seperti ini, Ibu selalu bilang kepadAku untuk tetap yakin bahwa Aku
pasti sembuh dan bisa secepatnya pergi ke Bandung. Nahh,, oleh karena itu Aku
selalu menanyakan ke Ibu kapan akan ke Bandung. Karena kalau pergi ke Bandung,
itu artinya Aku sudah sehat.
Setelah beberapa waktu, Ayah
keluar dengan wajah membingungkan. Sesekali tersenyum, sesekali cemberut. Aku
semakin bingung melihatnya. “Ayo ke mobil, mau mampir kemana?” “Ke gramedia,
Yah” “Toko buku lagi? Kan kita kemarin baru membeli 2 buku baru untuk kamu,
masak mau beli lagi?” “Habis yah.. ada edisi terbaru dari Pink Berry, Aku
kepingin membelinya biar nggak kehabisan stok” Ibuku menghentikan pertempuranku
dengan Ayah. “Ke KFC aja dulu.. Makan trus nati jalan-jalan ke mana gitu.”
“Iya, ide bagus tuh Bu” Ayahku mengiyakan pendapat Ibu.
Di KFC, Aku hanya pesan
minum karena memang lagi nggak nafsu makan. Sebenarnya Ayah memaksAku untuk
makan, tapi tetap saja Aku tidak mau. “Habis ini kemana?” “Hmmmmmm... Kemana
ya? Kalau ke florist gimana? Luthfi pengen beli bunga buat ditaruh di kamar.”
“Ahh enggak-enggak. Ibu tidak suka kamar di kasih bunga.” Ibuku berkata dengan
sedikit cemberut. “Ya sudah, Ibu mau kemana?” “Kemana aja deh, terserah Luthfi.
Yang penting nggak ke toko bunga.” “Luthfi, mau kemana?” “Kalau begitu ke
tempat souvenir aja yah, Luthfi mau beli oleh-oleh buat teman-teman di Bandung
nanti.” Tiba-tiba raut muka Ayah dan Ibu berubah dari ceria ke ekspresi sedih. Aku
merasa bersalah, “Ayah dan Ibu kenapa? Kog mukanya kadi cemberut gitu?” “Ehhh,,
enggak apa-apa Nak.” Ibu berusaha menutup-nutupi. “Jadinya kemana? Ke toko
souvenir.” “Iya aja, sekalian Ibu mau beli hiasan buat ruang tamu” Kebetulan
toko souvenirnya juga menjual aksesoris, jadi sekalian Ibu mau belanja.
Ibu membayar di kasir, Aku
dan Ayah meluncur ke mobil. Tak lama kemudian, Ibu menyusul. Aku yang masih
bingung dengan ekspresi Ayah dan Ibu tadi, langsung saja menanyakannya, tapi
dengan cara tidak langsung. “Yah.. masih lama ya kita ke Bandung?” “Nggak kog Nak,
mungkin Sabtu kita bisa berangkat ke Bandung” “Benar yah? Wahhh... asyik, ke
Bandung.. Ayah nggak bohong kan?” “Kenapa sihh Ayah bohong sama kamu, hehhee”
“Ya kan.. biasanya Ayah gitu bu, hehhe” Aku menjawab Ibu dengan setengah
bercanda.
Aku memikirkan kata-kata Ayah
tadi, “Sabtu kita berangkat” berarti, besok lusa. Ini hari Kamis. Ya.. nggak
salah, besok lusa Aku akan ke Bandung. Tempat pertama yang Aku kunjungi sudah
pasti dong, MTsN 1 Bandung. Sepanjang perjalanan ke toko aksesoris, Aku hanya
senyum-senyum nggak jelas membayangkan ke Bandung nanti, apalagi ke MTsN 1
Bandung. Wahhhh.. Eitsss.. tapi ada yang lupa. Bagaimana dengan Fira? Bagaimana
Aku menjelaskan padanya soal ini? Aku mendadak bingung. Lamunan dimulai......
“Woiii.. aayo turun” Ayah
mengagetkanku. “Iya yah,, nggak usah ngagetin juga dong yahhhh..” “Habis kamu
ngelamun terus sihhh..” “Nggak.. Wleeekkk.. Ayo Ayah ikut masuk nggak?” “Nggak
ah, Ayah mau ke taman sana aja” Kata Ayah sambil menunjuk taman yang berada di
depan toko. Tak berselang lama, Aku berlalu meninggalkan Ayah.
“Kamu mau beli apa Nak?” Ibu
mengagetkanku. “Oleh-oleh bu.. buat temen-temen MTsN 1, kan lusa kita mau ke
Bandung. Ya kan Bu ?” “Hmmm.. ya sudah Ibu ke sana dulu” Kata Ibu sambil
berlalu. Aku memilih milih barang. Aku mengambil keranjang belanja dan
memasukkan barang-barang ke dalamnya. Ada gantungan kunci, pin, kaos, boneka,
jaket, pigora dan masih banyak lagi. Ibuku saja hanya bisa menggelengkan
kepalanya saat Aku membawa barang itu ke kasir. Bukan masalah harganya, tapi Ibu
heran melihat Aku yang membeli barang sebanyak itu. “Buat apa Nak?” “Buat
temen-temen di Bandung, Bu.” “Hhhhhhh.. ya sudah ayo kita keluar” Ibu
mengajakku keluar dengan nada yang sama seperti saat mengajakku masuk tadi.
Kami menemui Ayah yang
sedang duduk di bangku taman sendirian. “Butuh teman Pak?” SapAku menggoda Ayah.
“Ohh.. nggak usah. Nggak perlu !” Kata Ayahku dan kemudian Beliau menjulurkan
lidahnya. “Ayo yah kita pulang.” “Sudah? Beli apa aja tadi?” “Itu... Lihat aNakmu!”
Rupanya ekspresi Ayah sama dengan ekspresi Ibu tadi, yaitu, menggelengkan
kepala. Hehhehhe,, Aku meringis tidak karuan. “Haduuhh.. dasar aNak muda. Kalau
begitu, ayo pulang.” “Okee yah.. siap.” Ayah mengelus rambutku yang tertutup
jilbab warna Putih itu.
Di rumah, Aku langsung ke
kamar dan bermaksud membagi souvenir tadi. “... Ini untuk temen-temen sekelas,
ini untuk temen yang lain, dan ini untuk Aku dan Fira.” Terdengar samar-samar
suara Ayah dan Ibu yang sedang membicarakan hasil diagnosis ku. “Kalau begitu
kita harus cepat-cepat ke Bandung sebelum kehabisan waktu.” Kata-kata Ayah
membuatku berpikir, kehabisan waktu? Apakah itu berarti waktuku sudah tidak
lama lagi? Aku semakin berpikiran yang tidak-tidak. Untuk memastikan, akhirnya Aku
keluar dari kamar menemui Ayah dan Ibu.
“Ayahhh.. Ibuuu..” SapAku
pada Ayah dan Ibu. Aku berpura-pura tidak mendengar berbincangan mereka tadi.
“Iya Luthfiii..” Ayah menjawabku dengan sesingkat-singkatnya. Lalu Ibu
melanjutkan, “Ayo makan.. Tadi kamu belum makan lohh.” “Ehhmm.. iya Bu, ini
Lutfhi juga mau makan. Ehh, Yah.. jadi kan kita ke Bandung lusa?” “Iya dong,
jadi.. tapi bukan besok lusa.” “Trus? Kapan?” TanyAku sambil meletakkan nasi di
piring. “Kita akan berangkat nanti malam, Nak.” Jelas saja Aku kaget, “Ha?
Nanti malam? Benar yah?” “Iya Sayang.. kita akan sampai disana besok pagi” Aku
tertawa kegirangan. “Hahahaaaa.. Yessss! Ke Bandung.” “Nanti setelah makan
segera packing barang-barang ya, Nak.” Kata Ibu. “Bawa koper, Nak.” Itu
berarti, Aku akan tinggal lama di Bandung, pikirku. Tanpa berpikir lagi, Aku
cepat-cepat menghabiskan nasi yang ada di piringku.
Seperti kata Ibu, setelah
makan Aku mengambil koper di kamar Ayah dan memasukkan barang-barang yang Aku perlukan.
Hanya baju sihh, karena Aku akan tinggal di rumahku sendiri. Jadi, nggak perlu
bawa peralatan mandi atau yang lain. Oh iya, tak lupa Aku memasukkan
barang-barang yang kubeli tadi siang. Packing pun selesai. Aku sudah tidak
sabar ingin segera ke Bandung. Ingin segera bertemu sohib karibku dan juga
temanku sebangku, Felyta Safira. Sudahlah, kita tinggalkan saja bagian yang
membosankan, yaitu menunggu waktu tiba.
Sekarang pukul 06.55,
sebenarnya Aku sudah bangun dari tadi. Aku saja sudah mandi. Tinggal sarapan
pagi dan mempersiapkan diri untuk mengelilingi kota kelahiranku setelah sekitar
1 tahun Aku tinggalkan. Lalu Aku menyapa Ibu yang sedang mempersiapkan sarapan.
“Selamat pagi, Bu. Udara disini masih tetap sejuk ya, Bu. Sama seperti sebelum
kita ke Jakarta.” “Iya, Nak. Suasananya juga tidak berbeda dari dulu. Damai
sekali rasanya.” “Oh iya Bu, Ayah mana?” “Itu masih mandi, setelah ini juga
selesai kok.” “Nanti kita berangkat jam berapa?” “Kata Ayah kira-kira jam 8,
kita akan ke MTsN 1. Trus stelah itu kita ke rumah nenek dan kakekmu.”
“Yeahhh.. ke MTsN 1.” Aku loncat-loncat tidak karuan saking girangnya.
Ayah sudah siap, Ibu juga,
Akupun begitu. Setelah sarapan bersama, kami menuju ke mobil dan pergi ke MTsN
1. Disana, Aku bertemu teman temanku yang Aku Sayangi. Aku ketemu Fira, dan Aku
menjelaskan padanya bahwa pekerjaan Ayah mengharuskanku pergi ke Jakarta. Aku
tidak menjelaskan penyakitku karena Aku nggak mau dia tahu. Biarkan Aku, Ayah, Ibu,
dokter, dan Allah yang tahu. Petualanganku di Bandung kali ini seru banget.. Aku
puas banget.
Hmmmmmmmmmm.. ini hari
ketiga Aku di Bandung. Hari ini Ayah tidak memberi tahuku akan pergi kemana.
Hari ini hari minggu, jadi pasti ramai banget. “Yah.. hari ini kita di rumah
saja ya?” “Iya Nak.. kita istirahat.” Ayahku mengiyakan. Ya.. hari ini Aku
lebih banyak menghabiskan waktu di rumah dengan nonton TV dan main Laptop.
Tapi entah kenapa, saat Aku
mengetik di Laptopku, tanganku tiba-tiba lemas. KepalAku pusing,
jantungkuuuuuuu... jantungku kambuh lagi rasanya. Aku memanggil Ayah dan Ibu.
Kondisiku sat ini tak seperti biasanya. MatAku rabun, tak jelas melihat benda
yag ada di sekelilingku. Badanku lemah, sangat lema. Dudukpun Aku tak mampu
karena merasakan sakit yang luar biasa di dadAku. KepalAku pusingnya tak
terkendali. Sudah tak kuat lagi rasanya. Aku hanya bisa merintih kesakitan, tak
dapat melAkukan apa-apa. Ayah dan Ibu segera membawAku ke rumah sakit.
Dokter bilang, kondisiku
sudah berada di ambang keburukan. Semakin parah, Ibu yang ada di sampingku
hanya bisa meneteskan airmata. Beliau hanya bisa pasrah, tak dapat melAkukan
apa-apa lagi. Aku juga begitu. Hatiku terus berdo’a kepada yang maha kuasa,
supaya Aku dianugerahi keajaiban yang membawa kesembuhan. Tapi tak mungkin
rasanya. Aku hanya terbaring lemah di rumah sakit sambil menahan rasa sakit
yang sungguh menyiksa. Aku bilang ke Ibu, “Bu.. rasanya Aku sudah tak kuat
lagi.” “Bertahanlah, Nak. Kamu pasti bisa, kamu bisa sembuh, Nak.” Ibu
menenangkanku dengan deraian air mata yang terus membasahi pipinya.
Tiba-tiba Aku mendengar
suara yang tak asing bagiku. “Luthfi... kamu pasti sembuh kok. Yakinlah..” Itu
suara Fira, berarti saat ini Fira berada di ruanganku. Benar saja, Fira datang
bersama Ayahku. Beliau menjemputnya rupanya. Mungkin Ayah hendak membiarkanku
bahagia bersama Fira sebelum kita berpisah untuk selamanya. “Firaaaaa...” Aku
memanggilnya dengan suara yang hampir tak terdengar. Sambil terus menahan
sakit, Aku berkata padanya. “Walaupun kelak kita nggak akan bisa bersama, tapi
kamu jangan melupakan Aku ya.. Kita dulu pernah berjanji untuk selalu bersama.
Meskipun raga kita tak bisa bersama, tapi ingat! Hati kita ditakdirkan untuk
bersatu, jadi nggak akan pernah berpisah sampai kapanpun.” Aku mendengar suara
Fira sambil teriisak, “Jangan berkata seperti itu, kamu sembuh. Yakin Luthfi..”
Rasa sakitku semakin tak
menentu, Aku tak dapat menahannya lagi. Ibu menelus rambutku, sementara Ayah
berdiri sambil membaca sesuatu. Fira menggenggam tangan kiriku. Semakin lama, Aku
semakin tak bisa merasakan mereka ada di sampingku. Aku hanya berkata pada
mereka. “Apapun yang terjadi nanti, jangan pernah menangisiku. Aku nggak mau
kalian sedih, Aku juga nggak mau air mata kalian mengalir karena Aku.” Aku
menghentikan perkataanku sejeNak, kemudian berkata lagi. “Aku Sayang kalian
semua.” Inilah kata terakhirku yang Aku ucapkan di kehidupanku. Fira memeluk
erat tubuhku. Ibu menangis sejadi-jadinya. Air matanya tak dapat dibendung
lagi. Sungguh kepedihan yang luar biasa bagi mereka. Aku hanya mencoba bertahan
lebih lama, tapi tetap saja Aku tak bisa. Takdir berkata lain. Tapi, Aku sudah
bersyukur dan sangat berterimakasih pada Ayah dan Ibu. Karena di akhir
kehidupanku ini, Aku dibawa ke Bandung. Dimana Aku bisa menemukan kebahagiaan
disana.
*****SELESAI*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar