Rabu, 16 Desember 2015

Contoh Cerita Pendek - Pengalaman Pribadi

Mimpi yang harus Ku pendam
( Annisa ReHa )

            Aku punya mimpi. Mimpi yang tak pernah kutahu akan tercapai atau tidak. Aku hanya yakin, bahwa Tuhan itu ada. Dia-lah yang akan menjawab semua mimpi yang telah aku gambar dalam kanvas putih dan tersimpan dengan rapi. Itulah sebabnya aku berani bermimpi setinggi langit. Bahkan aku berani bermimpi menempuh pendidikan di MAN Al-Insan, MA terbaik di Negara tercinta ini.
            Aku sadar, aku tak pernah menduduki angka 1, 2, maupun 3 di kelas. Menyenggol 5 besar saja sudah sangat bersyukur Aku. Meskipun begitu, keyakinanku inilah yang mendorongku untuk berani mendaftarkan diri bersama jajaran siswa-siswi berprestasi dari setiap bagian di negeri ini.
            Rahmadina Khoirunnisa, itulah Aku. Gadis 15 tahun yang hidup penuh mimpi, penuh harapan, dan penuh keyakinan. Bersama temanku, Ikfina Mar’atus Zahra, aku mendaftarkan diri kepada Bu Winda, guru BP kami. Aku belum tentu bisa mendaftarkan diri ke sekolah impian itu karena dari sekolah masih harus diseleksi dan hanya diambil beberapa orang. Kami para calan pendaftar harus bersaing dengan menunjukkan prestasi yang pernah dicapai.
            Aku sangat yakin bisa lolos dengan sederet prestasi yang pernah kuraih. Aku ini memang tak pernah menjuarai olimpiade MIPA atau ranking ‘sekian’ di kelasku layaknya teman-teman lain yang juga ikut mendaftarkan diri. Tapi di bidang lain, aku pernah menjadi juara pertama lomba pidato dan mewakili kabupaten di tingkat provinsi. Yah, tapi prestasiku ini hanya bagaikan sebutir padi di lading jika dibandingkan dengan prestasi teman-teman lain. Aku tak peduli.. Karena aku dan Zahra, begitu aku biasa memanggilnya, adalah 2 gadis pemberani yang sangat yakin dengan impian kita masing-masing.
            “Kamu dan Aku ini terlalu berani ya Za.” Candaanku pada Zahra mencairkan suasana. “Hahahah.. jangan gitu ah, kita harus yakin dong.” “Alah, kamu itu kebanyakan gaya tau nggak.” “Hahahahaha…” Kami tertawa bersama diri kita yang tengah berada di ambang ketidakpastian. Ya, besok adalah hari dimana pengumuman seleksi tingkat sekolah akan dipublish.
            Keesokan harinya…
            “……………… M. Irfan Fauzan, Nala Septianingrum, Pradita Dewi Amalia, Ulfiana Fitriani, Khusnul Fadillah, Rahmadina Khoirunnisa, dan Ikfina Mar’atus Zahra.” Bu Winda memanggil nama-nama itu dengan wajah berseri-seri. “Selamat berjuang untuk kalian yang namanya disebutkan. Karena kalian yang akan mengikuti tes dari MAN Al-Insan. “Alhamdulillah..” Masing-masing dari kami mengucap syukur. “Tenang saudara, Kita belum menjalani perang yang sesungguhnya. Yaitu tes.” Timpal Irfan, salah satu teman kami yang juga lolos seleksi. “Alah kamu itu, wong daftar aja belum kok mau tes.” Zahra menanggapi dengan wajah polos. “Loh ya maka dari itu, kita nggak boleh seneng-seneng dulu to yo, kita masih harus melewati beberapa tahap.” “Nah, benar juga kata Irfan. Pokoknya kita harus tetap semangat.” Sambungku dengan berseru.
            “Besok istirahat pertama kalian ke Lab. Komp ya, kita mulai urus berkas berkas pendaftaran. Membawa akta kelahiran asli. Untuk raport bisa diambil di T.U.” Suara pak Imron, pendamping kami dalam proses pendaftaran, menghentikan pembicaraan kami. Tanpa aba-aba, kami menganggukkan kepala bersamaan. “Baik, ada yang ditanyakan?” Bu Winda menyambung. “Mboten Bu.” Pradita mewakili Kami. Setelah kiranya cukup, kami bergegas meninggalkan ruang BP. Kami kembali ke kelas masing-masing.
            Bangun dari tidur, hanya satu yang terpikir di otakku. Membawa akta kelahiran, nanti daftar ke Al-Kamil. Ya Allah, semoga aku diterima disana. Aamiin.. Celotehku sambil menatap diriku yang penuh percaya diri ini di depan cermin.
“Yah, sampun.” Kataku pada Ayah yang menjadi pengantar setia-ku pergi ke sekolah setiap hari. Tanpa basa-basi lagi, Ayahku segera mempersiapkan diri. “Bu, Aku berangkat dulu ya. Assalamu’alaikum..” “Iya, Wa’alaikumussalam. Hati-hati ya. Semoga pendaftarannya sukses.” “Aamiin. Pangestunipun nggih Bu..” Aku menyalami tangan lembut Ibu-ku kemudian menghampiri ayahku yang sudah bersiap diatas motornya.
            Di sekolah, aku menemukan suasana heboh dari teman-temanku yang juga akan mendaftar di Al-Kamil. “Nis, bawa persyaratannya kan?” Zahra menyapa ku dengan sebuah pertanyaan. “Iya dongs.” Jawabku dengan setengah berlebihan. “Eh Nis, sudah ambil raport?” Tanya Irfan yang muncul tiba-tiba di hadapanku dan Zahra. “Belum lah, kan kata Pak Imron nanti saja di T.U.” Iya, aku tau. Tapi kan biasanya kamu yang suka mendahului.” “Enak aja, aku kan selalu main fair, nggak pernah yang namanya ‘men-da-hu-lu-i’.” Aku menjawab Irfan dengan nada kesal. “Iya iya Nis, aku kan cuma bercanda. Gitu aja sinis.” “Hahahahaha..” Aku, Irfan dan Zahra tertawa bersamaan.
            Bel istirahat pertama berbunyi. Aku, Zahra, Irfan dan teman-teman yang lain langsung bersiap-siap meninggalkan kelas. “Semangat ya kalian, semoga sukses.” Ucapan teman teman sekelas ku mengiringi langkah kami. “Okee okee. Makasih para fans.” Seperti biasa, Irfan bicara dengan gaya lebay-nya.
            Di Lab. Komp, dibantu Pak Imron, kami menyelesaikan proses-proses pendaftaran dengan hati-hati. “Gimana? Ada masalah?” Pak Imron bertanya pada Kami. “Saya belum daftar to Pak.” “Oh, Ulfa belum. Yang sudah siapa?” “Nala itu lo Kak, sudah berhasil. Nisa masih proses. Zahra tadi masih error. Ini Irfan masih mencoba mendaftarkan diri.” Jelas Pradita dengan nada serius.
            Beberapa waktu kemudian, masing-masing dari kami telah menyelesaikan pendaftaran dengan baik. “Alhamdulillah, tidak ada yang bermasalah.” “Hehe.. Iya Pak.” “Soalnya dulu itu ada yang gagal mendaftar, 1 orang. Makanya tadi saya nggak berani bilang ke kalian, biar kalian nggak down sebelum mendaftar.” Pak Imron yang memang sudah lama mengurusi masalah ini, menjelaskan dengan nada sedikit penyesalan. Kami tak berkata apa-apa, hanya mampu menganggukkan kepala.
            Beberapa minggu kemudian, pengumuman kelulusan pun dilaksanakan. Ini adalah pengumuman yang lolos seleksi administrasi, belum tes tulis. Bisa dibilang, ini masih separuh perjalanan menuju kesana. Kami peserta seleksi, harap-harap cemas karena sejak pagi sampai siang, bahkan sore ini, website Al-Kamil masih error. Mungkin karena terlalu banyak yang mengakses. “Yaudah, nanti kita buka di rumah saja, mungkin nanti malam atau manghrib bisa.” Irfan mengusulkan. “Iya, gitu aja. Daripada kita menunggu ketidakpastian ini, lebih baik kita pulang.” Sambung Nala, yang masih dengan ekspresi harap-harap cemas.
            “Assalamu’alaikum..” Aku dan Ayahku sampai di rumah. Ibuku langsung menyambutku dengan bertanya, “Gimana Nduk, keterima apa tidak?” “Belum tau Buk, dari tadi masih error. Belum bisa dibuka. Nanti habis maghrib, lihat di warnet saja.” “Oh gitu, nanti biar diantar kakakmu ke warnet.” “Iya Bu..”
            Sehabis mandi dan sholat Asar, aku merengek ke kakakku minta diantar ke warnet. “Bentar to, katanya setelah maghrib. Aku belum mandi ini lo.” Kakakku menyentakku dengan nada kesal karena tingkahku yang tidak sabaran. “Makanya cepetan mandi, aku sudah penasaran banget ini.” “Iya-iya, masih jam 4 itu lo. Santai saja.” Aku meninggalkan kakakku begitu saja sambil menggerutu.
            “Buk.. Ke warnet yuk.” Aku menghampiri Ibuku yang tengah bercanda dengan adikku. “Lha kakakmu apa nggak mau?” “Kakak belum mandi, nunggu Maghrib katanya.” “Adik di rumah ya, Ibu mau mengantar kakak ke warnet.” Adikku yang masih berusia 4 tahun, hanya mengangguk. Aku dan Ibuku bergegas ke warnet dekat rumah.
            “Nis gimana? Aku lolos.” Aku membaca pesan singkat dari Nala. Aku mencuekkan Nala dan mulai membuka website Al-Kamil. Kemudian langsung kutulis id name dan password ku. “Selamat, Anda lolos seleksi administrasi. Tes selanjutnya adalah tes tulis yang akan dilaksanakan pada tanggal 17 Mei 2014 di rayon masing-masing.” Kalimat itu sedikit menenangkan hatiku. “Alhamdulillah, lolos Bu.” Ibu yang berada di sampingku langsung memelukku dan mencium pipiku. “Alhamdulillah, belajar yang rajin ya..”
            15 Mei 2014…
            “Besok malam kita berangkat ke Surabaya. Kalian membayar 100 rb untuk biaya transportasi dan makannya. Gimana, setuju apa tidak?” Pak Nurhuda memeberi pilihan pada Kami. “Iya pak, gitu aja enak. Jadi nanti gak bingung-bingung mau cari makan.” “Yaudah, kalau gitu besok kalian bisa langsung membayar ke saya.” Pak Nurhuda adalah waka kesiswaan Kami sekaligus yang akan mendampingi kami selama tes di Surabaya.
            “Nanti berkumpul di sekolah sehabis Maghrib. Kemudian kita sholat Isya’ berjamaah dulu disini sebelum berangkat ke Surabaya.” “Jangan lupa bawa jajan ya..” Canda Irfan pada teman-teman.” “Kamu ini Fan, makanan saja yang ada di pikiranmu.” Jawab Ulfa dengan sedikit mengejek. “Khusnul jangan lupa nanti buku TPA mu kamu bawa ya..” “Siap, Pradita..”
            Malam ini ayahku yang mengantar ke sekolah. “Teman-temanmu di dalam, sedang sholat.” Sapa salah satu ayah dari teman kami padaku yang sedikit terlambat datang. Aku langsung bergegas ke ruang guru dan melaksanakan sholat berjama’ah.
            Tumpangan kami datang, kami bersiap untuk berangkat ke Surabaya. Sebelumnya, kami berpamitan pada orang tua. Ayahku memelukku, menciumku kemudian berpesan, “Jangan pernah menganggap rendah orang lain. Jangan juga berlaku sombong pada siapapun. Ayah yakin, anak ayah bisa.” Tak terasa, air mata membendung kelopak-ku. Ayah kemudian membiarkanku masuk ke mobil.
            Aku membayangkan jika aku sudah di MAN Al-Insan, betapa Ayah dan Ibuku bangga. Wajah Ayahku masih tergambar jelas di mataku. Kata-kata Ayah juga masih terngiang ngiang di pikiranku. “Nis, jajan.” Aku tersentak. “Ah, kamu ini mengagetkan aku saja Za,” “Kamu sih, ngelamun aja kerjaannya.” “Hehhehhe..” “Mikirin apa sih? Ha?” Zahra mengawali perbincangan sambal makan snack. “Mikirin kalo aku udah di Al-Kamil, pasti ayah sama ibu bangga.” “Hmmm.. Iya juga ya..Pasti Ibu ku juga. Pokoknya kita harus bisa, ya Nis.. “ “Yoii Za.. “ Kamipun tertidur di dalam mobil.
            Pukul 23.17, rombongan sampai di depan sebuah perumahan elite di kota Surabaya. “Ada Bank BRI belok kanan pak,” Pak Nurhuda memberi instruksi pada sopir mobil. “Lha ini-ini Pak,” Pak Nurhuda yang setengah berteriak membangunkan kami yang tertidur pulas. “Sudah sampai to Bu?” Itulah kata pertama yang terucap olehku sebangun dari tidur. “Iya, sudah Nduk. Temannya dibangunkan.” Aku kemudian membangunkan Zahra dan yang lainnya.
            Malam ini Kami akan menginap di rumah saudara Pak Nurhuda. Sesampainya di depan rumah, sang pemilik langsung mempersilahkan kami masuk dan berbincang-bincang sejenak. Karena waktu yang sudah larut, kami dipersilahkan ke kamar tidur. “Monggo, yang bawah ada satu kamar. Diatas ada 2 kamar.” “Wes gini aja, yang perempuan di dalam kamar, yang laki-laki di lantai sini saja.” Pak Nurhuda mengambil keputusan.
            Aku bersama kedua temanku, yaitu Nala dan Khusnul. Sedangkan Zahra, Ulfa dan Pradita tidur di kamar bawah. Kamar yang satu lagi ditempati Bu Winda dan Bu Diah, Pak Nurhuda dan 3 teman laki-laki tidur di lantai dan pak sopir memilih tidur di masjid.
            Sebelum tidur, kami belajar sebentar. Irfan, yang temannya juga mendaftar ke Al-Kamil memberi kabar pada Kami. “Pak tempat tesnya di MAN Sidoarjo.” “Loh, iya to Fan? Kamu tau dari mana?” Aku tak percaya begitu pula teman-temanku. “Ini lo, tak bacakan sms dari Maya. Aku sudah sampai di MAN Surabaya, tapi tempatnya sepi banget. Trus di mading ada tulisan bahwa tempat tes adalah di MAN Sidoarjo.” “Oh yaudah kalau begitu besok pagi jam 6 kita berangkat ke Sidoarjo. Gini ini lo enaknya kalau berangkat malam hari.” Lagi-lagi Pak Nurhuda membuat keputusan yang sangat bijaksana.
            “Aku sudah sampai di rumah saudaraku yang di Sidoarjo. Ini sama temanku. Tadi naik kereta api.” Pesan singkat dari temanku ini yang mencegahku untuk tidur. Kemudian aku lekas membalasnya. “Alhamdulillah.. Oh iya, tadi ada info kalau tempat tes nya di MAN Sidoarjo. Bukan di MAN Surabaya.” Sama sepertiku, dia juga kaget mendapat kabar itu dan sempat protes, “Loh katanya di MAN Surabaya, kok di MAN Sidoarjo?” “Tadi temennya temenku sudah ke MAN Surabaya trus ada info kayak gitu tadi.” Begitu aku menjelaskan padanya. Ia pun percaya dan mengakhiri perbincangan. “Oh begitu, yasudah besok aku tak langsung kesana. Sudah malam, ayo tidur. Kita besok kan harus bangun pagi, hehhe” Aku hanya membacanya, tak membalasnya. Akupun menyusul teman-temanku dan pergi tidur.
            Besoknya, pukul 04.00 kami sudah terbangun. Kami mulai beraktivitas. Sebagian mandi, ada yang belajar mengenai materi tes, ada yang hp-an, ada juga yang mandi. Saat ini aku sedang mempelajari buku Tes Potensi Akademik milik temanku. Aku mencoba berlatih dengan beberapa soal yang ada disitu.
            Waktu shubuh telah tiba, kamipun segera bersiap untuk kemudian melaksanakan sholat berjamaah. Tak lupa, kami berdo’a agar diberi kemudahan dan kesuksesan dalam tes nanti. Terlepas dari itu, aku langsung menuju ke kamar mandi untuk bersih diri. Aku kemudian berdandan dengan memakai almamater biru kebanggaanku kemudian bersiap dan mengemas barang-barang.
            Sekitar pukul 05.30, kami sudah siap dengan diri masing-masing. Kami ke lantai bawah, dimeja telah tersedia pisang goreng dan teh panas. Sang tuan rumah rupanya yang telah menyiapkan untuk kami. Karena waktu yang semakin mepet, kami memutuskan untuk mengganjal perut dengan pisang goreng tadi, sedangkan sarapan pagi kami lakukan di jalan saja. Nah, setelah dirasa cukup, kami undur diri dan langsung meluncur ke MAN Sidoarjo. Perjalanan ditempuh selama kurang lebih satu jam, jadi menurut perkiraan kami akan datang pukul 07.00 karena tadi kami berangkat jam 06.00. Ini artinya, kami masih punya waktu 1 jam sebelum tes dimulai untuk beradaptasi dengan lokasi tes.
            Rupanya, perkiraan kami tidak begitu meleset. Pukul 07.05 kami tiba di sekolah yang terletak di selatan jalan, yaitu MAN Sidoarjo. Turun dari mobil, aku mencium sesuatu yang asing di hidung. Entah apa itu, tapi baunya sangat menyengat. “Ih, apa ini baunya.” Zahra komentar dengan nada jijik. “Mungkin ikan atau apalah aku tak tau.” “Baunya kayak ikan mati.” “Alah wes Za, gausah dipermasalahkan. Kita disini mau tes kan ya?” “Iya bener, yaudah yuk masuk.” Irfan akhirnya mengajak kami bergegas masuk.
            Sampai di gerbang masuk, terlihat sudah banyak orang yang dating. Mereka terlihat sibuk mengerumpuni papan madding. “Pada ngapain sih?” Dengan polos Irfan bertanya. “Ya cari daftar nama sama ruangan nya dong Faaan.. Kamu itu.” “Hahahaha.. Maklum udah capek.” Dia mengelak. “Pokoknya nanti pas tes gak boleh seloyo lo ya.. “ Nala mengejek dengan setengah tertawa. “Nisa ruang  nih..” Suara Ulfi mengehentikan kami. “Oh iya Ul, mana-mana?” Aku langsung mencari-cari nama Rahmadina Khoirunnisa dan memastikan bahwa aku ada di ruang 2.
            Dari tempat ini terlihat beberapa orang yang sedang mengantri. Ini tempat presensi rupanya. “Yuk, absen dulu.” Zahra yang selalu di dekatku, menarik tanganku dan membawaku ke sekerumunan orang tadi.  Tanpa sengaja, aku melihat sook yang sudah tak asing lagi bagiku. Rian Azhar. Ya, itu adalah Rian, begitu aku memanggilnya. Temanku yang semalam baru berbincang denganku mengenai tempat tes. Terhitung, ini adalah pertemuan ke-3 ku dengan nya. Karena itu, aku sedikit canggung. Dia memandangku kemudian menyapaku. Aku tak membalas dengan kata-kata, hanya senyum yang tersimpul di bibirku. Dia kemudian membalas dengan senyuman sekaligus mohon diri. Pertemuan yang singkat, tak ada pembicaraan, namun berkesan. Kami selalu seperti itu.
            Waktu sudah semakin siang, mengingat tes sudah hampir dimulai, kami segera bersiap. Hanya papan dada, pensil, penghapus, bolpoin, dan kartu peserta yang kai bawa. Selain itu kami tinggal di tas dan kami taruh di aula.
            Pintu-pintu ruangan masih tersegel rapi. Tertulis himbauan agar tidak masuk sebelum dibuka, dilengkapi denga logo Al-Insan sebagai bukti bahwa itu adlah legal. Hal ini mencegah terjadinya kecurangan yang mungkin terjadi. Terpaksa kami harus menunggu di luar semacam orang terlantar. Kami berbincang, sebagian mencoba me-review apa yang sudah kami pelajari. “Eh, Maya…” Irfan setangah berteriak. Dia sedang memanggil temannya rupanya. “Eh Irfan,..” Dia Maya, teman Irfan yang telah memberi info mengenai pindahnya tempat tes. “Y awes, duluan ya…” Dia pamit, sambil bersalaman dengan kami satu-perastu.
            “Duh, kok lama banget sih, katanya jam 08.00 dimulai.” Seru Danang, teman laki0laki selain Irfan. “Sabar dong, kurang 10 menit ini lo.” Pradita membalas sambal melirik jam tangan coklatnya. “Lha dari tadi lo belum di buka-buka.” “Iya sabar, itung-itung sambal refreshing sebelum nanti di hajar habis-habisan.” “Hahaha…” Perkataan Khusnul tersebut membuat kami tertawa bersamaan.
            Teeeeeeeeetttt… Teeeeettttt… Teeeeett…
            Suara bel membubarkan perkumpulan kami. Kami bergegas menuju ruangan tes masing-masing sambil saling mengucap, “Good Luck ya..” “Sukses ya..” “Semangat semangat” dan semacamnya. Aku melangkah dengan pasti ke ruangan yang bertuliskan 2. Susanana di dalam dungguh berbeda, ada nuansa tegang disini. Aku menghela nafas panjang, mencoba menenangkan diriku sendiri. Aku kemudian mencari tempat duduk ku dan bersiap melaksanakan tes.
            Tak lupa aku memulai tes ini dengan berdoa. Aku memohon agar diberi kemudahan dalam mengerjakan soal. “Soalnya jangan dibuka sebelum ada perintah dari saya. Untuk lembar jawaban, silahkan diisi dengan biodata kalian sebenar-benarnya.” Sahut pengawas yang mulai berkeliling membagikan lembar soal dan jawaban. Aku mengisi dengan hati-hati. Tes pertama ini adalah TPA, Tes Potensi Akademik atau dikenal dengan Tes IQ atau Psikolog test.
            Seusai membagikan, pengawas memepersilahkan kami untuk mulai mengerjakan soal. Aku memulai dengan santai. “Bismillahirrahmaanirrahim..” Mulai kubuka lembar demi lembar soal tersebut. “Indonesian Youth Asociation. Wah yang buat dari ini.” Aku bergumam dalam hatiku sendiri. Kemudian mulai kukerjakan soal demi soal dengan lumayan mudah, meskipun ada beberapa soal yang tidak terjawab karena keterbatasan waktu dan aku merasa kesulitan. Tes Potensi Akademik ini dilaksanakan sekitar 1,5 jam. Kemudian dilanjutkan dengan beberapa tes ilmu pengetahuan.
            Selesai sudah Tes sesi I. Seperti yang telah ditentukan, kami berkumpul di aula untuk beristirahat dan menenangkan otak sejenak. “Gimana Za?” Aku bertanya pada Zahra yang lagi-lagi berada di dekatku. “Haduh, banyak banget yang nggak aku isi. Waktunya mepet banget..” “Wah ternyata bukan aku aja yang merasa kayak gitu. Tadi aku juga banyak yang kosong Za..” Aku memberi jawaban dengan sedikit rasa penyesalan. “Wes Nis, yang penting kita udah berusaha semaksimal yang kita bias.” “Lah iya, masih ada tes juga setelah ini, matematika malah.” Ulfi ikut nimbrung pembicaraan kami. “Hhhhhhhhh iya. Ini juga udah semangat banget.” Timpal ku dengan meminum segelas es jeruk yang sudah disediakan oleh Bu Winda dan Bu Diah. Tak terasa, waktu istirahat yang disediakan sudah kami habiskan. Kami segera bersalaman dengan bapk ibu guru dan kembali ke ruangan.
            Tes sesi ke II ditempuh sekitar 1,5 jam. Kali ini aku merasa kesulitan dengan soal-soal yang disajikan. Banyak yang tidak aku menegrti dan aku tak mampu mengerjakan. Disinilah mentalku sudah sedikit down. Tapi aku tak berhenti mencoba dan mencoba menenangkan diriku yang mulai panik. 1,5 jam pun berlalu begitu saja tanpa terasa.
            Di tes-tes selanjutnya, aku sudah mulai lengah jika dibanding dengan tes sesi I tadi. Semangatku sudah mulai surut dan pikiranku mulai tak karuan. Aku mencoba mengerjakan sebisaku. Tak peduli itu benar ataupun salah. Yang penting sudah berusaha maksimal. Itu yang kupegang teguh hingga saat ini. Soal demi soal kubaca penuh hati-hati dan kucoba untuk memahami. Walau akhirnya banyak sekali soal yang kukerjakan dengan Cuma-Cuma bahkan kosong. Disinilah keyakinanku masuk Al-Insan surut hampir 50%.
Tak apa jika memang tak bisa masuk Al-Insan, tesnya memang susah.” Aku melangkah perlahan menuju aula setelah tes selesai dilaksanakan. Semua peserta tes mulai berduyun-duyun meninggalkan lokasi. Kembali aku melihat Rian, sepertinya dia bergegas mau pulang. Laki-laki berkaca mata itu lalu menghadap ke arahku, memandangku dan hanya tersenyum padaku tanpa mengucap sepatah katapun. Aku pun membalas dengan perlakuan yang sama. Tak terasa, dia harus segera pulang dan berpamitan dengan sedikit menundukkan kepalanya. Aku mengiyakan, dengan menganggukkan kepala. “Ehm.. Siapa Nis?” Sahut Zahra yang ternyata sejak tadi mengamatiku. “Apa sih Za, Rian itu.” “Oh, yang sekolah di Blitar itu?” “He.eh..” aku menjawabnya singkat. “Ohhh.. hahahahaha” Dia kemudian tertawa lepas, entah apa yang dipikirkannya.
Waktu maghrib tiba, kami segera mengambil air wudhu dan segera melaksanakan sholat Maghrib. Disini hanya tinggal kami dan beberapa orang saja. MAN Sidoarjo sudah tampak sepi. Betapa singkat hari ini, betapa cepat tes ini berlalu, pikirku. Aku juga menyayangkan tak bisa berbicara dengan Rian, bercanda dan semacamnya layaknya kita di social media atau pesan singkat. Kami memang begitu, selalu canggung dan saling diam. Tak apa, pertemuan kami selalu mengesankan. Aku tersenyum tipis. “Hayo, ngelamun siapa?” Zahra kembali mengagetkan aku. “Baru ketemu kok sudah dipikirkan.” Dia menambahkan. “Apa sih Za? Kamu ini selalu aja gitu.” “Lo, emang kamu ngelamunin apa coba? Hayo..” Aku terdiam, secara tak langsung aku mengiyakan pernyataan Zahra tadi. “Tuh kan.. diam berarti membenarkan.” Tegasnya sambil menepuk bahuku. “Sudah siap? Yuk turun.” Kali ini Nala mengajak kami untuk segera ke mobil. “Oh iya iya, sudah kok.” Aku mengambil tas lalu mengikuti Nala menuruni tangga.
Bu, aku sudah selesai tes. Ini berangkat pulang ke Tulungagung. Aku mengirim pesan singkat kepada ibuku yang ada di rumah. Iya, hati-hati ya Nduk. Jangan aneh-aneh. Begitu pesan ibu padaku. “Nis, ..” Zahra memanggilku. Ternyata dia menyodorkan snack padaku. “Oh iya iya, makasih ya.” Tak lupa aku mengucap terimakasih sebelum melahapnya. “Tadi soalnya sulit sulit ya Nis. Apalagi yang matematika. Aku banyak yang gak bisa.” “Apa menurutmu aku enggak, Aku juga sama kali Za, malah banyak yang kosong.” “Oh ternyata aku nggak sendiri disini. Ada juga yang njawabnya sama kayak aku.” “Hahhaha.. masak kamu lupa sih kalo kita ini super pede?” “Hahahaha.. oh iya ya.” “Yang penting sudah berusaha.” Kami mengucap bersamaan lalu kemudian tertawa.
Beberapa jam kemudian, kami sampai di MTs tercinta. Ayahku yang sudah kukirim pesan sebelumnya, tampaknya sudah stand by menunggu kedatanganku. Kami turun dari mobil. “Dilihat barangnya, nanti aku yang tertinggal.” Pak Nurhuda mengingatkan kami. “Iya Pak, inshaAllah sudah dicek semua.” Irfan mewakili kami. “Sampai rumah langsung istirahat ya..” Bu Winda berpesan padaku saat berpamitan. “Nggih Bu..” Aku kemudian menyalami teman-teman dan menghampiri ayahku. “Gimana Nduk? Bisa ngerjakan soalnya.” Sahut ayahku saat aku datang. “Ya, ada yang gak bisa yah. Banyak yang sulit, banyak yang kosong.” Aku mengatakan yang sebenarnya pada ayahku. “Yaudah gak papa, yang penting sudah berusaha. Sekarang tinggal berdoa.” Begitulah ayahku, beliau selalu men support anak-anaknya. Kami kemudian bergegas untuk pulang.
            Beberapa minggu kemudian…
            “Bu, hari ini pengumuman tes Al-Insan.” “Oh iya, yaudah sana sama kakak lihat di Telkom.” Pagi-pagi aku sudah mengingatkan ibuku. “Kak, antar ke Telkom. Lihat pengumuman.” Aku memohon pada kakak ku yang hari ini juga libur, sama sepertiku. “Yukk..” Aku heran, biasanya dia mengelak terlebih dahulu. Tapi ya sudah lah, sudah untung mau mengantar.
            Aku langsung membuka laptop Samsung warna silver ku kemudian connect ke internet. Kubuka website milik Al-Insan, kemudian memasukkan username dan kata sandi. Jantungku mulai berdebar, antara takut dan penasaran.
            Maaf, anda tidak lolos seleksi masuk ke MAN Al-Insan Serpong. Aku kaget, terdiam sudah diriku ini. Tak mampu berkata-kata lagi. “Gimana?” Kakakku menanyakan kepastian padaku. “Nih,” Aku menunjukkan tulisan di layar laptop. Dia membacanya dan hanya berkata. “Wes gak papa, yang penting sudah usaha.” Aku mengangguk angguk. “Gimana? Lolos apa enggak?” pesan singkat dari Rian masuk ke handphone-ku. “Aku enggak lolos yang di Al-Insan Serpong.Saman gimana?” Aku balik bertanya pada Rian. “Alhamdulillah, aku lolos Mbak Bro.” Begitulah dia biasanya memanggilku. “Wah, selamat ya. Hehhe…” “Tenang, semoga saman lolos yang di Gorontalo atau Jambi. Kan pengumumannya belum ada.”Aku mulai teringat bahwa aku harus mencari pengumuman untuk yang Gorontalo dan Jambi. Aku mencari di web-nya, di e-mail, dan yang lainnya. Tapi tak kudapat nama-nama yang lolos seleksi. Teman-teman seperjuanganku menanyaiku satu-perstau. Baik lewat pesan singkat, chat, dan sebagainya. Aku juga berbalik bertanya pada mereka. Jawabannya sama, tidak ada yang lolos ke Al-Insan Serpong.
            Sampai di rumah, aku langsung menyampaikan kabar itu pada ayah dan ibuku. “Lha yang Gorontalo sama Jambi pengumumannya kapan?” ayah bertanya padaku. “”Gak tau juga yah, tadi masih Serpong aja yah.” “Tadi aku nyimpan nomornya sana.” Tambahku pada ayah. “mana? Coba ayah telfon.” Kata ayah tanpa basa-basi lagi. Aku kemudian men dikte sederetan angka pada ayah. Tanpa berpikir panjang, ayah mendekatkan handphone nya di telinganya. “Hallo.. Assalamu’alaikum.”  “Loudspeaker yah.” Ibu menginstruksi. “Wa’alaikumussalam..” Apa benar ini panitia penerimaan siswa baru Al-Insan Gorontalo?” “Iya, benar bapak.” Sahut orang tersebut dengan gaya bicara yang khas. “Kami mau menanyakan apakah Rahmadina Khoirunnisa lolos seleksi?” “Sebentar ya Pak, sayaa ambil data dulu.” Bapak dibalik pesawat telepon menambah, “Tadi namanya siapa pak?” “Rahmadina Khoirunnisa”. Jantungku mulai berdegub kencang. Ibuku juga tampak harap-harap cemas. “Tidak ada Pak.” Suara itu lirih, tapi memekak di telingaku. Ibu memandangku dengan pandangan sedikit kaget, sepertinya beliau kecewa pada anak nya yang gagal ini. Ibu kemudian meminta ayah untu menanyakan teman teman yang lain. Mulai dari Zahra, Irfan, Nala, Khusnul, Danang, Ulfi, Pradifa, tidak ada yang lolos seleksi.
            Aku masuk kamar tanpa berkata-kata pada ayah dan ibuku lagi. Aku merenungi apa yang baru saja aku alami. Aku kemudian membuka handphone ku dan kuterima pesan dari Rian. “Gimana? Diterima apa tidak?” Dengan berat hati aku menjawab. “Hmmmm.. Aku di MAN 2 Tulungagung saja.” Dia kemudian berbicara ini-itu seperti biasa. Dia mencoba menghiburku. Dia berkata bahwa akan ini-itu jika disana. Dia berjanji akan begini-begitu dan semacamnya. Aku hanya membalas pesannya satu peersatu, meski air mata tak kurasa telah membasahi pipiku. Aku tersadar, apa yang membuat aku menagis seperti ini. Semuanya tak bisa disesali, tak bisa juga diulangi. Sekarang, hanya masa depan yang harus kuhadapi dan kujalani dengan penuh rasa ikhlas.
            Begitulah kisah pilu akhir masa putih biru-ku. Ingin sekali aku mengulanginya. Tapi benar kata orang, kesempatan tak datang untuk kedua kalinya. Aku telah menyia-nyiakan itu. Dan mimpi yang kuukir indah sejak lama, kini harus hilang terhempas angin bagaikan pasir yang terkena ombak. Entah, akan ada keyakinan sekuat itu lagi atau tidak, di masa yang akan datang.


- - - - - - - - - -SELESAI - - - - - - - - - -

Tidak ada komentar:

Posting Komentar